Rabu, 9 September 2009 | 20:13 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Untuk mengatasi krisis yang sedang mendera dalam tubuh organisasi masyarakat Nahdatul Ulama atau NU, kaum muda NU mencoba kembali mengakar pada budaya tradisi NU. Mulai tahun ini, Lembaga Budaya NU atau Lesbumi kembali dihidupkan dan berkiprah di Yogyakarta.
Krisis di tubuh NU ini terutama terjadi karena keterlibatan NU yang terlalu dalam pada tataran politik praktis. “Politik terlalu telanjang dan pragmatis sehingga merusak budaya. Budaya tidak semata seni, tetapi nilai-nilai NU,” kata Ketua Yayasan Pondok Pesantren Lembaga Kajian Islam dan Sosial Kali Opak Jadul Maula.
Kegelisahan terkait NU juga mengemuka dalam diskusi bertajuk “Budaya NU dalam Pemetaan Budaya Kontemporer” yang digelar di Pondok Pesantren Kali Opak. Diskusi yang berlangsung hingga tengah malam pada Selasa (8/9) ini dipandu intelektual muda pesantren yang alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Muhammad Al-Fayyadl.
Diskusi dihadiri kaum muda NU seperti Hasan Basri, Aguk Irawan, dan A Fikri AF. Kaum muda NU, tambah Jadul, mencoba kembali mengakar pada nilai budaya NU yang mendasari relasi warga NU. Selama ini, politik praktis cenderung menjadikan warga NU hanya sebagai komoditas politik. “Nilai tentang prinsip toleransi dan nilai persaudaraan pun menjadi hilang,” tambahnya.
Di sisi lain, NU memang tidak bisa terpisah dari kehidupan berpolitik. Apalagi, NU merupakan salah satu aktor penting yang memiliki peran besar dalam membentuk kehidupan politik di Indonesia. Namun, hendaknya tetap ada garis batasan maupun pedoman dalam keterlibatan berpolitik.
Lewat penghidupan kembali Lesbumi yang sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1960, kaum muda NU ingin mendokumentasikan sekaligus mengevaluasi budaya pesantren. Budaya yang dimaksud antara lain berupa nilai toleransi antarpesantren dan semangat berkesenian.
Medium budaya diyakini menjadi bagian dari pendidikan masyarakat untuk menjaga kedaulatan bangsa. Saat ini, beberapa budaya NU dari yang tradisi hingga modern sudah mulai dikumpulkan oleh Lesbumi. Setiap pesantren, misalnya, memiliki budaya hadrah dengan langgam beragam seperti Jawa, jazz, hingga keroncong.
Lewat Lesbumi, kaum muda NU hendak membuat rumusan jalan kebudayaan dari nilai jati diri NU. Kehadiran Lesbumi diharapkan menjadi agen modernitas bagi NU dan mampu menjadi manifestasi bahwa nilai tradisi tidak selamanya antimodernitas. “Jantung budaya NU adalah tasawuf yang mencerminkan semangat keislaman yang berakar, tetapi kaya dalam penerimaan akan keberagaman,” tambah Al-Fayyadl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar